8.10.16

te(tangga)

Let me tell you about a story of a family.

Hiduplah satu keluarga dalam sebuah rumah berisikan 1 anak cowok, 2 anak cewek, papanya, mamanya, dan mbak Rani sama mbak Tiwi.

Kerjaan mbak Rani (atau Tiwi) setiap pagi adalah menyuci pakaian di lantai 2, sambil nyanyi lagu kombinasi D’Masiv, Agnez Mo, dan band-band lain yang gue rasa hanya populer di kalangan pembantu, dan jangan lupa kalo suaranya jauh lebih fals dari kentut gue di pagi hari.

Lalu ada satu cowok ini yang kalo udah pulang rumah bakal mulai berteriak dari siang sampai sore. Kegiatannya gak lebih dari isengin adek, kagetin mbaknya dan banting pintu. Lalu dengan suaranya yang udah 'puber' dia akan mulai berbicara seolah jakunnya ada mic, terkadang diisi suara ketawa yang sangat tidak cocok untuk telinga manusia dan juga ikutan nyanyi kayak mbaknya.

Dan seperti biasa, seorang adik yang tidak mengerti tentang dunia ini (dengan bodohnya) malah ikut menyumbangkan polusi suara lewat 'Duet-maut-bareng-koko' (which is fucking annoying) dan juga terkadang nangis berlebihan karena jadi korban kokonya yang emesh (double-fucking annoying).  Dan jangan lupa dia juga selalu teriak-teriak manggil mbaknya.

Diatas adalah deskripsi keluarga tetangga gue. Yang sebenernya gue pun gak pernah ketemu atau lihat mereka (Karena gue introvert dan gak mau berhubungan sama unnecessary people).

So the question remains, how did I managed to know nama pembokat mereka?

Nyokapnya adalah seorang ibu bersuara alto, dan tiap hari teriak dengan lemah,

‘RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI.’

Begitu terus diulang sampe si Rani jawab.

Tapi masalahnya, mbak Rani ini adalah pembantu gaul yang selalu dengerin lagu pake earphone pas lagi nyuci. Jadi kalo Rani gak jawab, paling dia ganti manggil si Tiwi... dan begitulah cerita gimana gue sampe tau nama pembokat mereka.

Gue pun sebenernya gak pengen bahas hal gak penting kayak mereka.

But, they’re getting worse.

Rumah gue bukanlah rumah yang kedap suara, dan ketika gue mulai lapor hal ini sama bos dirumah (baca: bokap dan nyokap), mereka cuman bilang dengan bijak... jangan cari masalah dan kita harus berusaha menjaga keharmonisan relasi antara kita dan tetangga.

(LIKE SERIOUSLY, WE DON’T EVEN TALK TO THEM FOR ONCE IN A MONTH.)

Anyway, recap:
1.       They sing a lot, and they can’t even sing.
2.       They scream a lot and it’s not healthy for them (and me as a victim.)
3.       I need meditation, but how? They’re ruining the peaceful of mind.

Well, I do hope one day they move for one or two reasons, tapi gue jauh lebih berharap mereka mati kehabisan suara. (And if one of you family ever read this thing, I'm not sorry for being a jerk, but you should be sorry.)

It's like Neighbors From Hell,
Penulisjournal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

komen biar dapet permen.

adventurer

Satu yang tidak pernah bergerak mundur... waktu. Satu titik pivot dalam hidup adalah ketika gue memutuskan keluar dari full-time vendor wedd...