25.10.16

i don't (wanna) know

I’ve been spending the last 2 years of constantly feeling weird and questioning my entire life.


How I enjoy having real friends, taking pictures of fun things, and living simple. No big or small drama, just being me and accepting the way the world revolves around.


Knowing what is love without questioning every single detail, knowing that we’re still friends even though a lot fights or debates could happen between us at any time, knowing that life will go just… fine.


Who am I acting for? Or is it the time for ‘Welcome-to-the-real-life’ cliché?



I can’t rest my head for a minute, I can’t stop thinking.

I hardly sleep at night, I hardly relax most of the time.

I forgot who I stand for. I de-motivated myself.

I miss looking at all the past experience with a smile that unintentionally pops up.


So if I ask myself, do I enjoy my life?



Not at all.

Penulisjournal.

24.10.16

cfd #1

Dengan setengah sadar, gue mengambil hp dan melihat kearah jam dinding... 4.48am.

Gue bangun sepagi ini bukan karena mau boker... walaupun kentut gue emang sudah secara natural mulai berisik saat gue bangun.

Hari Minggu ini gue bangun untuk CFD (Car Free Day).

Setelah cuci muka, gosok gigi dan sarapan, gue memanaskan motor dan tepat jam 5.20 subuh, gue jalan ke halte Grogol 2. Udara dingin serta langit yang gelap gak menghalangi niat gue untuk jalan sehat bersama 2 temen gue yang sudah menunggu gue di halte. Tanah dan aspal sedikit basah menyisakan bekas hujan deras tadi malam.

Rencana awal buat parkir di kampus gue tercinta gagal karena gue kepagian jadi gerbangnya masih belum buka. Lalu pas gue lagi muterin kampus pake motor buat nyari tempat parkir lain, tiba-tiba mulai turun rintik hujan, tapi gue masih nyantai aja.

Mendadak jadi gerimis kecil, dan gue mulai panik...

TERUS TIBA-TIBA HUJAN KENCENG.

Jaket gue basah pake banget. Kesimpulan sejauh ini: berteduh gagal, gak dapet tempat parkir, dan kedinginan. Pikiran-pikiran galau mulai muncul ketika gue duduk di motor dan menatap hujan yang jatuh,

"Kenapa gue mau aja bangun pagi buat kayak gini."
"Gue bahkan gak bisa pulang."
"Tadi pagi habis makan harusnya gue tidur lagi."

Akhirnya setelah reda, gue kepikiran buat parkir di tempat yang parkirannya gak mungkin belom buka di pagi hari. Mall Citraland. Setelah masuk parkiran, gue berjalan ke halte dan ketemu 2 temen kampret yang menyebabkan hidup gue terlihat sangat menyedihkan di Minggu pagi. Seorang lelaki lemah berkacamata hitam dan seorang perempuan (hampir) kurus berkacamata biasa aja.

Gue yang gak tau jalan cuman bisa ngekor aja, berpindah dari halte ke halte sampe akhirnya turun ke jalan Harmoni dan memulai jalan sehat.

Hari itu ternyata ada Jakarta Marathon, semacam event lari dengan mengambil setengah rute jalan Car Free Day. Yang membedakan peserta dan orang biasa adalah di bagian perut ada semacam sticker race number yang gak dimiliki orang biasa, sisanya sama aja sih.

Setelah (pura-pura) lari, gue mencium aroma soto Lamongan yang mengikat hati. Lalu untuk mengisi kembali ion yang hilang, gue beli si soto dan makan si soto.

Kaki mulai agak sakit, dan gerimis mulai datang lagi. Kita memutuskan untuk balik naik busway, tapi keramaian penumpang membuat gue dikelilingi bocah-bocah swag dengan fashion ala Young Lex kecil.

Anyway, that was my first car free day. (Semoga gak last.)
Penulisjournal.

16.10.16

Take One

I once read a book yang berisi tentang 5 pertanyaan besar dalam hidup setiap manusia. Therefore, gue membuat beberapa pertanyaan besar yang ada dalam hidup gue yaitu:

1.       Mengapa gue lahir di keluarga seperti ini?
2.       Mengapa gue ketemu sama seorang cewek yang gak sempurna?
3.       Mengapa bisnis gue gak berjalan sesuai harapan?

(And another 2 big questions left to be found on my life journey, karena gue pribadi masih berusia 18 tahun dan gue yakin sisanya pasti belum muncul.)

Mungkin beberapa pertanyaan dalam hidup gue memang belum terjawab atau jawabannya masih berupa hipotesa sementara, dan gue pun gak ingin pertanyaan diatas terjawab dengan terlalu cepat. Semua hal dalam hidup ini memang perlu ups and downs, ibarat film yang selalu punya plot twist sehingga ketika dikompilasi dan mencapai ending akan menjadi sesuatu yang menarik untuk diceritakan.

Hidup ini bagaikan film yang masing-masing dari kita adalah seorang pemeran utama bagi film dokumenter hidup kita sendiri. Every action or decisions yang kita buat mengajak kita ke sebuah jalan untuk membuat hidup jauh lebih baik dan seru. Cerita bagaimana Luke Skywalker merasa dia selalu punya sesuatu yang lain dalam dirinya, sampai dia sadar being a Jedi and saving his galaxy was his destiny.

Mungkin gue gak akan selamatin satu dunia ini, atau selamatin satu Indonesia. I’m not some kind of fictional character yang destiny-nya bisa diubah kapanpun sesuai dengan keinginan pembuatnya, tapi satu hal yang mau gue tekankan adalah each of us has a purpose for living. Ketika merasa diri gak cukup kuat untuk jadi pemeran utama dalam film, kita cenderung akan mengubah diri menjadi pemeran pembantu bagi film hidup orang lain which is a bad thing.

Successful person are the best film-maker, hal itu kenapa kehidupan Apple’s CEO sampai dibuat jadi film (Jobs, 2013). Alasan dari membuat film adalah untuk menginspirasi orang lain  supaya bangun dari kehidupan menjadi ‘Pemeran pembantu’ dan kembali menjadi ‘Pemeran utama’ dalam hidup dia.

I don’t know you, and you don’t know me. But if you read this message, I hope you make yourself a good film. 

Roll and action,
Penulisjournal.

8.10.16

te(tangga)

Let me tell you about a story of a family.

Hiduplah satu keluarga dalam sebuah rumah berisikan 1 anak cowok, 2 anak cewek, papanya, mamanya, dan mbak Rani sama mbak Tiwi.

Kerjaan mbak Rani (atau Tiwi) setiap pagi adalah menyuci pakaian di lantai 2, sambil nyanyi lagu kombinasi D’Masiv, Agnez Mo, dan band-band lain yang gue rasa hanya populer di kalangan pembantu, dan jangan lupa kalo suaranya jauh lebih fals dari kentut gue di pagi hari.

Lalu ada satu cowok ini yang kalo udah pulang rumah bakal mulai berteriak dari siang sampai sore. Kegiatannya gak lebih dari isengin adek, kagetin mbaknya dan banting pintu. Lalu dengan suaranya yang udah 'puber' dia akan mulai berbicara seolah jakunnya ada mic, terkadang diisi suara ketawa yang sangat tidak cocok untuk telinga manusia dan juga ikutan nyanyi kayak mbaknya.

Dan seperti biasa, seorang adik yang tidak mengerti tentang dunia ini (dengan bodohnya) malah ikut menyumbangkan polusi suara lewat 'Duet-maut-bareng-koko' (which is fucking annoying) dan juga terkadang nangis berlebihan karena jadi korban kokonya yang emesh (double-fucking annoying).  Dan jangan lupa dia juga selalu teriak-teriak manggil mbaknya.

Diatas adalah deskripsi keluarga tetangga gue. Yang sebenernya gue pun gak pernah ketemu atau lihat mereka (Karena gue introvert dan gak mau berhubungan sama unnecessary people).

So the question remains, how did I managed to know nama pembokat mereka?

Nyokapnya adalah seorang ibu bersuara alto, dan tiap hari teriak dengan lemah,

‘RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI. RANI.’

Begitu terus diulang sampe si Rani jawab.

Tapi masalahnya, mbak Rani ini adalah pembantu gaul yang selalu dengerin lagu pake earphone pas lagi nyuci. Jadi kalo Rani gak jawab, paling dia ganti manggil si Tiwi... dan begitulah cerita gimana gue sampe tau nama pembokat mereka.

Gue pun sebenernya gak pengen bahas hal gak penting kayak mereka.

But, they’re getting worse.

Rumah gue bukanlah rumah yang kedap suara, dan ketika gue mulai lapor hal ini sama bos dirumah (baca: bokap dan nyokap), mereka cuman bilang dengan bijak... jangan cari masalah dan kita harus berusaha menjaga keharmonisan relasi antara kita dan tetangga.

(LIKE SERIOUSLY, WE DON’T EVEN TALK TO THEM FOR ONCE IN A MONTH.)

Anyway, recap:
1.       They sing a lot, and they can’t even sing.
2.       They scream a lot and it’s not healthy for them (and me as a victim.)
3.       I need meditation, but how? They’re ruining the peaceful of mind.

Well, I do hope one day they move for one or two reasons, tapi gue jauh lebih berharap mereka mati kehabisan suara. (And if one of you family ever read this thing, I'm not sorry for being a jerk, but you should be sorry.)

It's like Neighbors From Hell,
Penulisjournal.

adventurer

Satu yang tidak pernah bergerak mundur... waktu. Satu titik pivot dalam hidup adalah ketika gue memutuskan keluar dari full-time vendor wedd...